suatu ketika, pada masa hindia belanda, isah yang merupakan gadis jawa sekaligus putri seorang pembatik di keraton yogya, menolak perjodohan dengan lelaki yang berusia jauh lebih tua darinya. suatu malam di tahun 1900-an, isah melawan keinginan orang-orang yang ada di sekitarnya dan dengan percaya diri memilih keluar dari rumah tempat ia dibesarkan. isah meninggalkan kehidupan lamanya di dalam keraton yang membelenggu, termasuk meninggalkan perempuan yang melahirkannya.
keinginan hatinya yang begitu kuat mengantarkannya ke seorang prajurit belanda. tidak untuk dinikahi, tetapi dijadikan seorang nyai. isah menyadari kedudukannya pada saat itu. ia menyerahkan seluruh hidupnya pada lelaki bernama gey, yang kelak memberinya dua orang putri yang tidak pernah mengenalinya.
sebelum lebih jauh, saya ingin mengungkapkan bahwa betapa istimewanya buku ini. hidup yang dijalani isah begitu menyentuh hingga membuat saya tidak hentinya menitikkan air mata ketika buku ini selesai kubaca. "kasihan, isah!" adalah dua kata yang kuucapkan sembari terus memikirkan nasib hidupnya yang memilukan. berulang kali saya menghela nafas panjang dan berat ketika membayangkan nasib seorang nyai seperti isah yang hidup pada masa itu.
membaca "lebih putih dariku" tidak hanya sekedar membaca sejarah, tetapi kita menyelami pahitnya kehidupan seorang nyai yang diwakili oleh perempuan bernama isah. bahwa harapan indah yang didamba bisa begitu kejamnya menghancurkan tatkala kenyataan menancapkan pilar, memberi nyeri di antara buku-buku. hidup sebagai nyai seperti harapannya tidak berpihak pada pada isah. sayangnya, ia tidak pernah mengetahui itu hingga semuanya terjadi dan menghancurkannya perlahan.
patriarki yang membelenggu pada masa itu menggambarkan status sosial yang sangat memengaruhi kehidupan isah di dalam keraton. keterbelengguan ini tidak berakhir ketika isah meninggalkan kehidupannya di keraton, tetapi masih ia jumpai di kehidupan barunya sebagai seorang nyai. isah seolah tidak bisa mengungkapkan keinginan hati dan melakukan apa yang diinginkan. apa yang dihadapi isah di kemudian hari adalah bentuk kekejaman hidup yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. rasisme pada masa kolonial sangat terang-terangan menjadi jurang pemisah, memutuskan rasa kemanusiaan.
kehidupan isah sebagai seorang nyai semakin tidak berarti ketika gey memutuskan untuk meninggalkannya. memberinya dua orang putri yang segera dipisahkan darinya pada saat itu juga. isah tidak lagi memiliki hak atas kedua putrinya, isah dibuat seolah tidak terlihat, dihapus namanya, dan dibuat tidak pernah ada bagi kedua putrinya. isah seumpama perabot yang hanya menunggu dipindahkan sesuka hati oleh majikannya.
mewakili perasaan isah yang sepanjang usianya terbelenggu kepahitan hidup dan hanya terus menggapai kemungkinan demi kemungkinan yang jauh dari kepastian dan kebahagiaan, "aku harus bagaimana atau harus seperti apa agar diperjuangkan, dicintai, dan dipilih?"
seperti yang telah diketahui, istilah nyai cenderung dipandang negatif. tetapi, lebih daripada itu, kisah tentang nyai seringkali juga adalah sebuah kepiluan. di buku ini perenungan atas segala anggapan tersebut bisa dirasakan melalui penyampaian cerita yang sederhana, sekaligus memberikan kesan yang mendalam. menimbulkan emosi yang mengalir secara alami, seiring bagaimana kisah hidup isah yang mengaduk perasaan hingga halaman terakhir. kisah hidup isah dan nyai-nyai lainnya masih bisa dilihat hingga kini melalui potongan-potongan gambar yang menyimpan sejarah kelam, yaitu perbudakan halus dan mematikan terhadap perempuan.
*.