"saudara bertanya apa yang saya ketahui, hah? yang saya ketahui adalah, dan hanyalah: SAYA MENCINTAI ISTRI SAYA-A-A-A...!!!"
suatu hari seorang pelukis ingin bunuh diri karena lukisannya ternyata mampu memikat semua orang hingga mengakibatkan ia bingung dengan materi yang berlimpah. dengan kebingungan tersebut, ia bertekad melompat dari lantai dua sebuah gedung. namun, sayang sekali, niat bunuh diri itu tidak berhasil lantaran pada kejadian selanjutnya ia malah menimpa seorang gadis. alih-alih mati, sang pelukis justru menemukan seorang istri yang kelak sangat dicintainya sekaligus membuatnya sangat merana ketika sang istri mati. hari pernikahan keduanya sangatlah membahagiakan semua orang. banyak karangan bunga berdatangan hingga memenuhi jalan kota.
namun, keadaan tersebut lambat laut menimbulkan kebencian. orang-orang mengeluh tentang bunga-bunga tersebut yang telah berhasil menimbulkan kemacetan dan melampiaskan rasa benci mereka kepada sang pelukis. akhirnya sang pelukis dan istri diusir dari kota kemudain dibuang ke pantai. seolah nasib buruk belum puas menghampiri, sang istri justru terkena sakit dan akhirnya mati.
di sebuah tempat bernama kotapraja itulah, sang pelukis mengalami saat-saat kehilangan yang mematikan daya hidupnya. saking kehilangannya ia sempat menghilang entah ke mana dan kembali pada suatu hari selepas istrinya dimakamkan—tanpa kehadirannya. ia mengunjungi makam sang istri dengan membawa bunga dan berniat meletakkan bunga itu di sana namun tidak berani mendekat. ia hanya menitipkan bunga tersebut pada centeng pekuburan. lebih baik baginya jika melakukan ziarah tanpa melihat makam sang istri. yang ia tahu, ia hanya mencintai sang istri dan berlagak seolah tak percaya bahwa istrinya telah mati. ia kerap menunggu sang istri di tikungan jalan ditemani arak sambil menangis dan bergantian memanggil tuhan atau nama sang istri. sungguh yang dialami sang pelukis adalah kehilangan yang tak karuan.
namun, keadaan tersebut lambat laut menimbulkan kebencian. orang-orang mengeluh tentang bunga-bunga tersebut yang telah berhasil menimbulkan kemacetan dan melampiaskan rasa benci mereka kepada sang pelukis. akhirnya sang pelukis dan istri diusir dari kota kemudain dibuang ke pantai. seolah nasib buruk belum puas menghampiri, sang istri justru terkena sakit dan akhirnya mati.
di sebuah tempat bernama kotapraja itulah, sang pelukis mengalami saat-saat kehilangan yang mematikan daya hidupnya. saking kehilangannya ia sempat menghilang entah ke mana dan kembali pada suatu hari selepas istrinya dimakamkan—tanpa kehadirannya. ia mengunjungi makam sang istri dengan membawa bunga dan berniat meletakkan bunga itu di sana namun tidak berani mendekat. ia hanya menitipkan bunga tersebut pada centeng pekuburan. lebih baik baginya jika melakukan ziarah tanpa melihat makam sang istri. yang ia tahu, ia hanya mencintai sang istri dan berlagak seolah tak percaya bahwa istrinya telah mati. ia kerap menunggu sang istri di tikungan jalan ditemani arak sambil menangis dan bergantian memanggil tuhan atau nama sang istri. sungguh yang dialami sang pelukis adalah kehilangan yang tak karuan.
"saya ingin menanyakan kuburan seseorang yang semasa hidupnya adalah istri saya."
"siapa nama istri saudara?
"saudara boleh percaya atau tidak, tapi saya sendiri tidak tahu."
melihat tingkah sang pelukis, maka datanglah opseter pekuburan memintanya untuk mengapur tembok-tembok yang dipenuhi bekas surat selebaran yang pernah memberitakan dirinya sedang dicari. sang pelukis menerima permintaan pekerjaan itu dengan waktu kerja lima jam setiap hari. alhasil, masa kerja yang dilakukannya selama itu membuat tingkah lakunya menjadi lebih baik, dan orang-orang pun kembali geger. mereka seolah menemukan hal baik yang mustahil terjadi. walikota yang melihat perubahan baik tersebut berniat memberhentikan opseter pekuburan. namun, ketika surat pemberhentian tersebut hendak diantarkan, walikota malah menemui ajal.
bersamaan dengan itu, sang pelukis ingin berhenti dari pekerjaan mengapur tembok. opseter tentu saja kebingungan dan meminta alasan. sang pelukis menjelaskan bahwa pekerjaan ini ditawarkan kepadanya dengan dua alasan; untuk kepentingan pribadi opseter, dan tentu saja untuk dirinya sendiri agar ia lebih sering mengunjungi makam sang istri. setelah kejadian itu, keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. sang pelukis kemudian mengunjungi kantor wali kota dan memintanya diizinkan menjadi opseter pekuburan menggantikan yang telah mati. sang pelukis melakukan itu dengan alasan agar ia bisa melakukan ziarah kapan saja kepada istrinya dan kepada mayat-mayat lainnya.
novel yang terbit pertama kali pada tahun 1969 ini memang agak sulit dipahami lantaran alurnya yang patah-patah dan banyaknya ditemukan bentuk majas di beberapa bagian disertai gabungan antara imajinasi dan intelektualitas yang dibungkus ilmu filsafat dan psikologi. sejujurnya, membaca ziarah membuat saya banyak mengernyitkan dahi dan di waktu yang sama terdapat keindahan di sana sehingga saya pun tidak ingin lekas menyelesaikannya. lebih daripada itu ziarah adalah bentuk satire untuk media sosial saat ini, di mana makin maraknya kejadian orang-orang mencampuri urusan orang lain demi sebuah kepuasan pribadi dan konsumsi publik. novel ini juga secara tidak langsung memperingatkan kita bahwa kematian pasti akan datang. sifatnya abadi dan tidak harus menjadi sebuah ketakutan. bagi saya, membaca ziarah sebaiknya tidak tergesa-gesa agar bisa dilumat dengan nikmat, seperti ciuman pertama.
*.