"an education is not so much about making a living as making a person."
sebelum membeli buku ini, terlebih dahulu saya membuka halaman goodreads untuk sekadar membaca komentar-komentar dari pembaca. dari beberapa komentar yang kubaca akhirnya memberikan saya keyakinan untuk membelinya. buku ini membuat saya tertarik karena judulnya. seolah menjanjikan kisah yang memukau, ketika saya tidak begitu tertarik lagi dengan genre fiksi.
setiap halaman dari apa yang disampaikan tara westover selalu membuat saya penasaran perihal apa saja yang akan ditemuinya untuk keputusan-keputusan yang dibuat. terlebih, ketika ia baru pertama kali menginjakkan kaki di sebuah ruang kelas. jadi, tara terlahir dari keluarga ekstrimis. saya bisa membayangkan bagaimana rasanya dibatasi, tidak dibebaskan untuk memilih. bahkan untuk hal-hal sederhana, seperti mendatangi dokter ketika sedang sakit. jika ditelisik lebih jauh, sang ayah adalah sumber penderitaan.
karena batasan dari ayahnya, tara dan saudara-saudaranya tidak diizinkan bersekolah. ayahnya memiliki pandangan berbeda tentang dunia; tidak percaya dokter, apalagi pemerintah. tetapi semakin dewasa tara merasa harus menemukan dunia yang lebih baik dari kehidupannya selama ini. atas desakan saudaranya, tara memberanikan diri melawan dan memutuskan untuk bersekolah tepat di usia tujuh belas tahun.
ketika akhirnya bisa bersekolah, tara seperti menemukan dunia baru. banyak perspektif lain yang ditemukan, yang tentu saja berasal dari orang-orang yang ditemuinya, lingkungan baru, dan pelajaran baru. seolah tara muak dengan semua doktrin yang berasal dari ayahnya, maka ia memilih mencari dan menemukan sendiri. belajar memilih dan memisahkan pengetahuan sebelumnya dengan hal-hal baru yang ditemuinya. seiring semua proses yang dilaluinya, tara juga melalui gejolak dalam pencarian jati diri. tentu saja, bayang-bayang keluarga yang ingin ia lepaskan terus membayangi. sang ayah, seolah tidak ingin melepaskan tara begitu saja. bagi ayahnya, tara saat itu adalah seorang pendosa dan harus disucikan. terkesan seperti lelucon dan memuakkan.
kisah tara westover yang berhasil meraih gelar doktor di tengah drama keluarga dan trauma masa lalu yang seolah menelannya hidup-hidup, tidak hanya membuat kita membayangkan dan ikut merasakan semua gejolak itu, tetapi juga mengajari kita yang membaca bahwa selalu ada pilihan dalam hidup. kita hanya perlu meyakini pilihan itu. dan juga, terkadang, menjauh dari orang-orang yang dicintai adalah pilihan terbaik. kita tidak perlu menyerahkan seutuhnya diri ketika perasaan mengatakan ada jalan terbaik. bukankah kita masih bisa mencintai seseorang meski harus mengucapkan selamat tinggal?
ucapan selamat tinggal akhirnya melayangkan kenangan masa lalu dan memberi ruang untuk masa kini. tara westover memilih untuk membebaskan diri dari kemelekatan yang tidak erat lagi. kisahnya ini adalah sebuah bentuk pendidikan yang super kompleks. pendidikan di sekolah sangat berbeda dengan pendidikan yang ditemui di tengah keluarga dan orang-orang di luar itu. kesedihan, trauma adalah juga bagian dari pendidikan. memberikan kita bentuk baru seiring bagaimana kita mempelajari segalanya.
*.