7.3.20

// sayap-sayap patah //


"ia, tamu yang sedang berangkat pulang..."

selma dan gibran yang seharusnya bersama malah dipisahkan. bukan, bukan karena salah satunya berkhianat, akan tetapi takdir selalu tak bisa ditebak. selma harus mengikuti keinginan sang ayah untuk dinikahkan dengan orang lain yang dipandang memiliki derajat tinggi.


seharusnya, pernikahan membawa bunga-bunga keceriaan. tetapi, selma tak bisa menemukan itu. yang ia rasakan hanyalah derita di setiap ia melangkahkan kaki. ia menatap segala hal dengan kesedihan di ujung mata. pernikahan tanpa perasaan cinta hanyalah dongeng yang tak ingin dibaca, sehingga siapa pun tidak menginginkan hal tersebut.

dalam sayap-sayap patah, gibran menuliskan semua luka dan derita karena sebuah takdir yang memisahkannya dengan selma. meskipun dalam setiap lembaran buku ini berisi kalimat-kalimat yang menyedihkan, tetapi saya bisa merasakan bahwa gibran begitu memuja selma dengan perasaan-perasaan yang elegan. cinta gibran untuk selma seperti tak bisa diukur kedalamannya, ia juga menggambarkan cinta dengan ketulusan yang tak terpikirkan saat ini. kalimat-kalimat yang dituliskan gibran bisa menghangatkan perasaan bagi siapa saja yang membacanya. lantas, saya merenungi satu hal, bisakah kita menemukan cinta yang seperti itu?

jika selama ini kita mengenal kalimat "cinta bisa membunuhmu", maka hal tersebut benar adanya. perasaan tak bisa memiliki akan selalu mengandung kemungkinan untuk membunuhmu, di mana hasrat yang menggebu dan tak tertahankan ternyata mampu melemahkan. kau seperti tak memiliki gairah, karena gairah yang ada dalam dirimu telah dimiliki oleh seseorang. dan seseorang itu membawanya pergi sehingga kau seperti merasakan tak memiliki nyawa lagi. hal ini dialami oleh selma yang membuatnya menyerah dan memilih pergi ke tempat yang sangat jauh yang tak bisa dikunjungi oleh siapa pun, kecuali tubuhmu telah terbujur kaku.

"di liang lahat ini juga engkau menguburkan hatiku."

di dalam kehidupan kita bisa menemui banyak kisah cinta yang terbentur kesialan karena terhalang ruang, waktu dan perbedaan kasta serta status. barangkali, berdasarkan hal tersebut, kahlil gibran menuangkan bentuk kekecewaanya dengan menulis buku sayap-sayap patah ini. di mana selma dan gibran adalah salah satu contoh kemalangan yang sudah tentu menyedihkan.

*.