2.3.20

// kim ji-yeong lahir tahun 1982 //


pertama-tama, buku kim ji-yeong lahir tahun 1982—yang juga telah difilmkan, merupakan buku yang dikabarkan menjadi sebuah kontroversi di korea selatan lantaran kuatnya aroma feminisme yang dibahas. sementara di korea selatan sendiri, isu kesetaraan gender ternyata masih dianggap tabu. maka dengan keberanian penuh, cho nam-joo berusaha untuk memperlihatkan bahwa sebagian perempuan ada yang bernasib tidak bahagia lantaran isu-isu tersebut.


kuatnya isu kesetaraan gender tersebut terlihat dari sebuah cerita di mana pada sebuah waktu, ibu dari kim ji-yeong diharuskan mengalah terhadap saudara laki-lakinya untuk tidak mendapatkan pendidikan. hal ini karena sebuah alasan bahwa perempuan tidak harus berpendidikan, perempuan hanya harus bekerja untuk kebutuhan lain. dan juga, adanya perbedaan perlakuan terhadap adik laki-laki kim ji-yeong yang menjadi kesayangan bagi nenek dan ayahnya.

kim ji-yoeng dalam buku ini mengalami ketidakberuntungan, dia tertumbuk pada sebuah kesialan hidup yang mengubahnya menjadi orang lain. dia tidak mengenal dirinya lagi. maka tidak salah, jika ternyata kim ji-yeong membangkitkan perasaan-perasaan tertekan bagi siapa saja perempuan yang membaca buku ini, yang barangkali perasaan-perasaan tersebut telah berhasil disembunyikan rapat-rapat. di mana pada akhirnya timbul kesadaran bahwa mereka adalah kim ji-yeong, bahwa sebenarnya mereka memiliki nasib yang sama dengan kim ji-yeong. 

cerita kim ji-yeong ini akan saya hubungkan dengan apa yang saya rasakan akhir-akhir ini. di saat-saat tertentu, saya pun kerap merasa bahwa saya adalah kim ji-yeong (atau kim ji-yeong adalah saya?). saya memikirkan ini pada saat saya sedang istirahat setelah mondar-mandir dan hanya berkutat serta fokus pada kerjaan dapur. di mana betis hingga telapak kaki saya terasa pegal tidak karuan.
tidak bisa dielak bahwa pekerjaan di dapur juga menguras tenaga dan waktu, dan ini tidak kalah dengan pekerjaan kantoran. bahkan ini sangat melelahkan hingga saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menghela nafas panjang pada saat pantat saya akhirnya menyentuh permukaan kursi. terlebih jika akhirnya saya merasakan perih pada salah satu jari saya, yang ternyata adalah luka goresan kecil yang disebabkan entah oleh apa. kelelahan ini semakin bertambah, ketika saya menemui kenyataan bahwa jemuran saya tidak kunjung kering karena hujan yang terus-menerus turun.
lantas, sembari memandangi jemuran—yang tidak kunjung kering—itu, adik saya berteriak dan mengabarkan bahwa seorang perempuan baru saja dilamar dengan uang sebesar 12M. iya, jelas itu bukan uang yang sedikit, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana wujud uang sebanyak itu. pertanyaan saya adalah apakah dengan uang sebanyak itu bisa menjadikan seorang perempuan tidak perlu bekerja di dapur? ah, nyatanya tidak ada jawaban untuk pertanyaan tersebut.
saya bisa membayangkan sebuah adegan dalam film kim ji-yeong, di saat dia akhirnya bisa istirahat setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, tetapi harus segera bergegas kembali lantaran anaknya terbangun dari tidur dan menangis, yang pada akhirnya membuat kegiatan istirahatnya batal. sungguh, betapa melelahkan memang.
tulisan ini bukan untuk mengeluh, tetapi sebuah pertanyaan muncul “apakah seperti ini yang selama puluhan tahun dirasakan mom ketika bekerja di dapur setelah pulang dari mengajar?”. memikirkan bahwa pekerjaan mengajar bukan hal mudah, maka betapa kuatnya mom yang juga bisa segera bekerja di dapur setelahnya.
kim ji-yeong adalah contoh perempuan yang juga kuat, di luar sebuah fakta bahwa ia akhirnya mengalami depresi karena situasi yang harus dijalaninya; berhenti dari pekerjaan dan mengurus rumah tangga. kim ji-yeong tidak bisa disalahkan lantaran banyaknya pendapat bahwa “ah, itu karena dia tidak menikmati perannya sebagai seorang istri dan ibu.” bukan, bukan seperti itu. beberapa perempuan memang nyaman-nyaman saja melakoni peran sebagai ibu rumah tangga, tetapi tahukah, beberapa perempuan tidak demikian.
yang juga menyedihkan ketika kim ji-yeong sedang istirahat barang sebentar di sebuah taman setelah menjemput anaknya, sembari menyesap kopi. beberapa orang melihatnya hidup dengan enak lantaran bisa minum kopi memakai uang suaminya.
kenapa saya mengatakan ini menyedihkan? karena orang-orang hanya melihat di luar saja. mereka tidak tahu apa yang kim ji-yeong alami hingga ia berakhir di sebuah taman dengan segelas kopi di tangan. nyatanya, kim ji-yeong butuh istirahat dan memikirkan tentang dirinya sendiri.
hal ini juga bisa saya rasakan dan jelas membuat saya sedih, ketika seseorang—yang terkasih—mengatakan bahwa saya adalah “anak cafe” karena seringnya saya yang hanya memperlihatkan foto-foto yang enak dipandang. sejujurnya, tidak demikian. ketika saya mengunjungi sebuah cafe yang menyediakan kopi dan makanan enak sejujurnya saya sedang istirahat dan ini juga merupakan upaya memanjakan diri dengan upah menulis saya yang tidak seberapa. jangan sampai saya menjadi seperti kim ji-yeong yang depresi, begitu pikir saya ketika menulis ini.
*.