2.1.19

// nadira  //


kehilangan separuh jiwa ialah apa-apa yang meluluhkan tawa. ialah ibu, sebuah rahim tempat nadira berasal, dan di antara denyut yang usai ada jawaban yang ikut terkubur. hanya ibu yang tahu alasan sebuah kepergian, seperti enggan berbagi sepiring rahasia di meja makan. dan tentu saja, nadira kerap merindukan pelukan berlengan itu, tetapi gigil tak mengenal musim.


nadira serupa perempuan renta yang telah lama buta akan warna, tak ada yang lebih diingini selain jawaban untuk semua nyata yang memilih menghadirkan getir tak mengenal sudah. bertahun lamanya ia tak mengenal musim, sebab jendela kamarnya tak pernah ia biarkan terbuka. kemudian tak ada lagi senyum merekah sejak kehilangan benar-benar menjadi gaduh di kepala.

segenggam kelabu akhirnya berlabuh pada satu hati tempat menyemai bahagia, dikiranya seperti itu. kemudian takdir kembali berhembus menentukan arah sendiri. nyatanya, nadira tak pernah cukup. seperti hujan yang tak lagi menyejukkan, akhirnya sepasang hati kembali dipeluk sendiri-sendiri.

entah berapa kali hujan jatuh dari matanya, hingga pada suatu hari tak ada lagi yang bisa dihadirkan selain jenuh yang kosong hampir ikut mati. sebab baginya, kehadiran yang lain hanya serupa peran figuran dalam sandiwara murahan.

jangan tanya bagaimana keriuhan pasar malam atau rasanya berlari selincah mungkin, sebab sejak mula sepasang kaki telah ia biarkan terpasung dalam-dalam. masih bisakah nadira berharap pada sebuah cahaya yang akan mengisi gelap ruang? akankah nadira kembali merayakan hidup dan membuka apa-apa yang tertutup rapat?

barangkali, yang ia butuhkan hanyalah lengan baru agar lelah segera luluh dan dibuai mimpi-mimpi baru di atas berahi yang menjanjikan mahkota.

*.