laut bercerita berkisah tentang aktivis yang hilang dan yang (tidak) kembali pada saat kerusuhan 1998 menjelang Orde Baru.
Biru Laut, seorang mahasiswa di Yogyakarta akhirnya bergabung dengan Winatra dan Wirasena yang dianggap sebagai organisasi terlarang, lantaran membahayakan kedudukan Presiden. banyak aktivis diambil secara paksa dan dibunuh.
membaca novel Leila S. Chudori memberikan pengalaman membaca yang baru bagi saya, terlalu banyak perasaan sesak yang dihadirkan melalui tokoh-tokohnya. “laut bercerita” cukup menyakitkan; terfokus kepada perasaan orang-orang yang ditingalkan begitu saja tanpa kepastian, orangtua yang selalu berharap dengan kepercayaan penuh. tentang pengorbanan dan tentang kekuatan bertahan, serta pengkhianatan. semua terasa kompleks dalam buku ini.
terlebih, nuansa kekeluargaan sangat terasa di cerita ini; Ibu yang akan selalu menyiapkan masakan kesukaan keluarga setiap hari minggu, dan bapak yang akan selalu menunggu Biru Laut pulang untuk makan bersama. dan semua tiba-tiba berubah, kebahagiaan seolah menguap ketika suatu hari Biru Laut tak kunjung muncul untuk kebiasaan rutin makan bersama tersebut. tidak ada yang tahu ke mana perginya Biru Laut (dan kawan-kawannya yang lain). pencarian terus dilakukan dan harapan tetap tumbuh bagi yang ditinggalkan, meski pada akhirnya semua menyerah dan mencoba untuk ikhlas. tangis saya pecah ketika pada akhirnya Bapak meninggal. Bapak meninggal dalam penantian dan ketidaktahuan.
pada bagian tertentu di beberapa lembaran terakhir laut bercerita, saya sangat berharap bahwa Biru Laut akan kembali, lantas memberikan kejutan kepada yang menunggunya, seperti kisah superhero yang bangkit kembali setelah kematian. ah, kehilangan (secara tiba-tiba) memang tidak pernah mudah untuk diterima; kau merasakan sesak dan menuntut untuk dibebaskan melalui jawaban-jawaban (yang terkadang tidak pernah membuat puas).
sejujurnya, saya jadi lebih memahami tentang sejarah kelam Indonesia melalui tulisan Leila S. Chudori dalam laut bercerita. saya merasa bahwa tanpa sosok seperti Biru Laut dan kawan-kawannya, kita tidak akan merasakan wajah baru Indonesia yang demokratis seperti saat ini.
*.